NIGHTMARISH
Aku masih marah padanya. Bagaimana mungkin aku memaafkannya
setelah pernyataanya tadi malam. Dengan mata penuh binar kebahagiaan , kukira
dia akan memberiku kabar bahagia. Tapi
yang terjadi justru sebaliknya, dia akan pergi pagi ini. Aku tahu, itu adalah
keinginanya sejak pertama kali mengenalnya. Lalu, apakah dia tidak memikirkan
diriku yang tinaggalkannya ditempat seperti ini. Karna aku yakin dia pasti akan
melupakanku, dan mustahil bagiku untuk dapat bertemu denganya lagi.
Lama –lama aku bisa gila jika terus memikirkan dirinya. Aku
bodoh sekali, memikirkan seseorang yang sama sekali tidak memikirkanku. Kakiku
kubiarkan berjalan tanpa arah, dan akhirnya berhenti di depan sebuah ayunan tua, yang dengan cuma – cuma menjadi
saksi bisu kehidupanku ditempat ini. Bahkan kedua orang tuaku sama sekali tak
bisa melihatku tumbuh dewasa lalu bagaimana mungkin bisa melihat kehidupanku
ditempat terkutuk ini.
Perasaanku kini
tercampur aduk seperti adonan roti. Hatiku ingin sekali menemuinya tapi
otakku melarang keras menemuinya. Dan disinilah aku duduk di ayunan tua seraya
menatap punggungnya dari kejauhan. Dia sudah mempersiapkan semuanya ternyata,
dua tas besar tergeletak disamping tubuhnya, memakai pakaian rapi , tak dapat
ku lupakan pancaran kebahagiaan yang tergambar jelas meski aku tak bisa melihat
wajah nya. Tak berselang lama, sosok sepasang insan manusia menghampirinya.
Saling berpelukan, manis bukan. Jangan ingatkan aku lagi, mereka akan membawa
dirinya jauh padaku. Sesak dadaku melihatnya, dirinya berpelukan dengan
kebahagiaan barunya, hingga tak menyadari sosokku yang mengamati lekat dirinya
sejak tadi.
Pelukan itu perlahan merenggang dan terlepas. Sosok pria
yang tadinya berpelukan denganya mengambil alih dua tas di samping dirinya.
Jangan!! Kumohon berikan aku waktu sehari saja untuk bisa memanfaatkan waktu
terakhir yang kumiliki untuknya, batinku berteriak. Ku gelengkan kepalaku
berulang kali. Tak bisa! , aku tak bisa bertindak egois. Tapi hatiku tak mampu
melepaskanya. Dadaku sesak , aku ingin bersamanya tapi apalah daya aku tak
berhak melarangya menghampiri kebahagiaan yang sudah menunggu hidapannya.
Sesesak dadaku, kini pipi ku mulai memanas. Tidak , aku tidak bisa menangis di
hari kebahagiaanya. Kini, tak hanya pipiku yang memanas, kedua mataku ikut
memanas, hingga cairan hangat itu mulai peluncur dari pelupuk mataku. Ku
pejamkan mataku, alih- alih untuk menghentikan air mata , yang terjadi justru hal yang akan ku hindari.
Kedua bahuku bergetak hebat, gigiku melai gemeletuk, lama kelamaan isakan ku
mulai terdengar keras.
Mereka , sosok yang sejak tadi menjadi pusat penglihatanku,
kini menjadikan ku objek perhatianya, mungkin karna mendengasr isakan memalukan
ku. Tak bisa ku elak , dirinya juga ikut menengok kearahku , keningnya berkerut
ketika mendapati diriku menangis sesenggukan. Aku yakin, dia tidak menyadari
alasan ku menangis seperti ini. Dasar
bodoh. Tatapan nya kini semakin dalam padaku menusuk kedua pupil mataku. Jangan
menatapku seolah olah aku seorang pencuri. Tatapan itu tak lepas dari ku.
Membuat dadaku semakin sesak. Amarahku bergemuruh di didadaku.
Aku berlari menyusuri lorong lorong sepi. Sedetik setelah
aku memalingkan wajahku duluan setelah memutuskan tatapan nya dari mataku. Aku
tak kuasa lagi berlari mengindari kenyataan bahwa aku tak ingin berpisah
denganya. Pandanganku mulai buram , lagi lagi air mata ini terjun bebas di
pipiku. Kedua tanganku membekam mulutku sendiri. Aku tak ingin seorangpun
terganggu dan terbangun dari tidurnya karna suara isakanku. Berulang kali aku
terjatuh karna tak bisa menyeimbangkan tubuhku lagi. Tapi aku masih memaksa
raga ini untuk membawaku kekamarku yang berada di ujung lorong.
Ku buka paksa pintu kayu tuga dengan debu yang
melapisinya. Berlari masuk dengan tergesa gesa, dan berakhir menjatuhkan
tubuku di sudut ruangan ini. Menekuk lututku sembari menenggelamkan wajahku
dalam lekukan lutut. Sudah lama aku tak menangis, setelah kejadian itu. Kali
ini, aku benar benar sendiri. Tanpa seorang pun yang menemani hariku, tak ada
yang mau. Aku tak peduli dengan siapapun. Itulah mengapa aku sama sekali tak
memilik teman , dan hanya dia yang bertahan dengan sifatku ini.
******
Sekilat cahaya terang menusuk kedua mataku yang masih
terpejam. Dari sela sela tirai jendela cahaya cahaya itu berusaha menerobos
masuk. Inilah hidupku yang baru dunia yang baru dimulai beberapa tahun lalu.
Keluarga baru. Suasana baru , tak ada lagi dinding suraam ,tak ada lagi tempat
dengan aura yang mencekam. Ruangan ini sangat berbanding terbalik dengan yang
ku tinggali beberapa tahun silam. Dinding bewarna biru dengan banyak hiasan
mewah menghiasi kamar baruku.
Ku turuni satu persatu anak tangga menuju ruang makan. Rumah
yang begitu sempurna, yang bhakan tak terbayang dalam mimpiku. Karna aku benci
berharap. Keluarga yang sempurna, batinku. Syukurlah mungkin dia juga mendapat
hal sama yang aku dapatkan. Semua keluarga menyapaku. Aku hanya menarik sedikit
sudut bibirku keatas. Aku tak ingin berharap lebih. Bayang bayang bahwa aku
sekedar anggota keluarga baru – atau bahkan hanya dianggap menumpang ,
membuat kesadaranku kembali.
Disini aku duduk diantara keluarga yang jauh dari
bayanganku. Aku senang tapi mungkin aku tak bahagia, dua kata itu memiliki
makna yang berbeda menurutku. Aku masih terasa terasingkan , wlau sesungguhnya
mereka sama sekali tak membahas masa laluku. Sosok yang paling di segani di
rumah ini adalah kepala keluarga –bernama Adirama Dewanta. Kedua, kini aku
memliki ibu –mama Santia Riani Dewanta , mama yang baik padaku jauh dari
ekspetasiku ketika pertama kali memasuki bangunan megah ini. Jangan lupakan dua
orang yang membuatku merasa tidak enak karna aku takut dianggap pengganggu.
Mereka adalah kakak sulungku, Sarah Diba Dewanta –seorang wanita yang anggun
dan pintar memikat lawan jenis , membut ku selalu berdecak kagum melihat mantan
dan pacarnya yang berwajah sangat tampan –tidak terlalu tampan –aku
menyayanginya tapi aku takut. Aku masih memiliki kakak kedua, bernama Ardiano
Zayn Dewanta. Kami bertiga masih sekolah di sekolah yang sama –Senior High School –sekolah dengan
fasilitas yang sempurna.
Sayangnya , jika semua orang berfikir aku akan menyatakan
pada dunia bahwa aku adalah anak bungsu keluarga Dewanta. Maka maaf , aku bukan
orang seperti itu ,karna sejatinya anak angkat hanyalah anak angkat selamanya
seperti itu. Di sekolah pun sama, aku tak memiliki seorang pun teman, karna
selama ini hanya dia lah temanku. Aku adalah target bully yang sempurna,sejak memasuki Junior High School. Semua ini terjadi
karna kepribadian yang kumiliki, terlalu pendiam dan penyendiri. Walau aku
selalu mendapat juara kelas bahkan sampai Olimpiade,
namun nyatanya tak dapat merubah apapun.
“Sya , nanti kamu pulang jam berapa ?” ,tanya suara serak
dan dingin, itu suara Papa seraya
mengaduk teh susunya di depanya –tanpa memandangku. Miris bukan.
“emm.... jam satu siang”, sahutku dengan menundukkan
kepalaku. Perasaan yang membawaku kembali ke alam sadarku –anak angkat.
“pulanglah cepat nak, nanti malam ada acara makan malam”,
kukira yang akan membalas pernyataanku adalah suara tegas nan keras , namun
ternyata adalah suara halus dan lembut. Ku angkat wajahku menghadap pemilik
suara lembut ini, Mama. Terima kasih ma, hatiku teriris mendengar batinku yang
menyatakan perasaanya.
“baiklah....” , ku suguhkan senyumku , senyum tulus. Membuat
pergerakan tangan Kak Dion yang hendak menyuapkan sesendok nasi kedalam
mulutnya terhenti. Matanya menatapku lekat. Hingga kedua sudut bibirnya
tertarik keatas tanpa Kak Dion sadari. Melihat itu akupun ikut tersenyum
kearahnya.
Malam ini aku terpaksa tak menghadiri acara makan malam
keluarga ku bersama teman lama Papa. Aku harus menginap dirumah teman sekelasku
untuk mengerjakan tugas kelompok. Walau aku sudah memohon pada guruku bahwa aku
mampu mengerjakan tugas itu sendiri, guruku tetap memaksaku. Tak ku kira, makan
malam itu memilik makna terselubung , yaitu perjodohan Kak Sarah dengan anak teman Papah. Huh, sangat
beruntungnya laki laki itu mendapatkan Kak Sarah yang sempurna dengan hati
baik. Pastinya lelaki itu juga lelaki baik, karna kau percaya orang baik
jodohnya orang baik begitu pula sebaliknya.
Perjodohan itu diawali dengan acara pertunangan , yang
dilaksanakan minggu depan. Sangat tergesa gesa , karna baru seminggu yang lalu kelas dua belas
selesai menunaikan ujian nasional. Semua orang dirumah ini sibuk mempersiapkan
acara pertunangan itu. Kukira Kak Sarah akan meminta pertunangan ini
dilaksanakan di gedung mewah. Tapi, pertunangan ini dilaksanakan di Bukit yang
di penuhi Villa kepemilikkan keluarga besar Dewantara. Bayangkan akan seperi
apa romantisnya mereka berdua. Membuatku terkikik geli. Meski aku belum
mengetahui nama dan wajahnya, karna ini hukuman dari Kak Sarah karna tak
menghadiri acara makan malam ini.
******
Dunia terasa seperti sudah termakan waktu. Nanti malam adalah
hari dimana Kak Sarah akan bertunangan. Dan , aku di paksa untuk menyanyikan
sebuah lagu di iringi dengan dentingan piano. Sudah lama aku tak pernah
menyentuh benda itu, lalu bagaimana mungkin aku bisa memainkanya. Ditambah lagi
dia baru memberitahuku pagi tadi. Sedangkan malam ini aku harus menampilkan
sebuah lagu.
Di tengah hamparan rerumputan hijau , sebuah panggung kecil
terletak di bagian ujung , bagian tas panggung itu di buat seperti gerbang
dengan rangkaian bunga yang sangat indah. Bau harum mawat menusuk hidungku ketika memasuki gerbang
bunga pertama. Bangku bangku bundar berbalut kain putih , sangat cantik. Para
tamu sudah mulai berdatangan. Aku memilih sedikit menjauh. Ku duduk kan tubuhku
di bangku usang tepat di depan sebuah danau.
Tak bisa berbohong, aku sedikit penasaran dengan siapa yang akan menjadi
tunangan kakakku. Semoga saja dia pria yang baik.
Sebuah suara menginstrupsi lamunanku, suara si pembawa
acara. Acaranya akan dimulai tenryata. Baiklah, aku akan kesana nanti. Rasa
nyaman duduk di tempat ini membuatku enggan beranjak. Air yang tenang seakan
ikut membuat perasaanku menjadi tenang. Perasaan gugup karna harus menyanyika
sebuah lagu diacara ini membuat nyaliku ciut. Alih alih merasa nyaman. Kini ,
aku merasakan sebuah tepukan di bahu telanjangku. Ku edarkan pandanganku
kesamping. Sesosok pria mungkin seusia Kak Sarah memakai tuxedo putih dengan
jas hitam , sangan maskulin. Dia tersenyum menatapku.
“kenapa duduk disini?”, suara serak itu bertanya padaku.
“mencari angin” , sahutku singkat dan cuek. Bukankah kalian
sudah tahu kalau memang ini sifatku –sulit bergaul. Ucapan itu terlontar begitu
saja tanpa memikirkannya dengan otakku.
“hah? Kau bodoh ya... kau sedang berada di tempat terbuka “,
benar dugaanku. Inilah akibatnya . dikatai sebagi orang bodoh. Padhahal,dirinya
sama sekali belum mengenalku.
Diseretlah tanganku menuju acara pertunangan itu. Tepat saat
seorang pria yang berpakaian hampir sama dengan pria yang menyeretku, hendak
memasangkan sebuah cincin pada jari manis Kak Sarah. Namun terhenti, karna pria
yang menyeretku meneriakiku karena aku berjalan lamban –menurutnya. Semua orang
kini menatap ku, dengan berbagai mata. Ingin rasanya aku tenggelam dalam danau,
ini semua gara gara pria penyeret gila.
Kak Sarah memanggil namaku. Membuatku mendongak menatapnya,
jangan memarahiku, marahi saja pria gila yang berteriak ini. Pupil mataku
melebar , dan tubuhku langsung memaku di
tempat. Wajah itu , mata itu, miliknya –priaku , satu satunya temanku, satu
satunya yang menetap dalam hatiku meski sudah bertahun tahun terpisah. Namun
sedetik kemudian tatapan mataku berubah sendu dan rindu, tubuhku mulai melemas,
kakiku terasa seperti jelly, sehingga
rasanya tubuhku akan limbung. Pria itu menatapku lekat,tatapanya begitu dalam,
entah apa yang tersirat dalam kedua
matanya, semua tak terbaca olehku. Ku lihat dia juga sama terkejutnya denganku.
Suara tegas milik Papa memintaku naik ke atas panggung. Saat
ini, identitasku akan di bongkar. Ku harap kalian tidak penasaran. Ku lirik
pria yang ada di sebelah Kak Sarah, dari sekian banyak pria tampan yang di
ciptakan Tuhan kenapa harus pria ini yang menjadi kakak iparku. Haruskah
selamanya aku akan menjadi adiknya. Tak untuk selebihnya. Aku sama sekali tak
pernah berharap lebih.
“.....perkenalkan ini putri bungsu saya , bernama Arsya
Adira Dewanta.....”, sederet kalimat panjang milik papah yang terlalu baku ,
seperti basa basi. Hanya bagian intinya saja yang organ pendengaranku tangkap.
Aku hanya tersenyum
kikuk ketika semua orang mentapku. Aku seperti baru kepergok berciuman,teman pun
aku tak punya ,mana mungkin aku memiliki seorang kekasih untuk berciuman. Walau
aku sangat menginginkan hla itu. Mengingat kata kekasih membuat pandangan ku
teralih pada sosok yang akan menjadi sepasang kekasih. Pria itu tersenyum tulus
dengan si wanita, seperti senyuman yang dulu hanya milikku dan untukku. Setelah
sekian lama tak bertemu. Menyapaku pun tidak , sekedar menarik kedua sudut
bibirnya padaku tak ia lakukan,sebegitu beratkah senyuman tipis untukku. Aku tak
meminta senyuman tulus seperti yang ia berikan untuk Kakakku. Hanya senyuman
tipis, tidak lebih.
Suara si pembawa cara menarikku kemali ke alam nyata. Ku
alihkan pandanganku menatap sebuah piano putih di bagian paling belakang
panggung tepat sejajar dengan posisi bulan malam ini, malam yang sempurna namun
tidak untuku. Ku pejamkan kedua mataku, helaan nafas mengiring langkah untuk
menduduki kursi di depan piano putih itu. Kedua iris mataku menatap sepasang
kekasih yang tersenyum disela sela tawa mereka, aku juga ingin seperti itu.
Malam ini menjadi saksi bisu akhir sebuah rasa yang
terpendam dalam hati, tanpa siapapun tahu dan peduli. Biarlah namanya tetap
terpatri dalam hati, hingga Tuhan menghapuskan nama itu , dan menggantinya
dengan yang lebih baik. Jari jari lentikku memulai sebuah lagu. Hatiku sudah
menuntunku untuk menyanyikan lagu ini, padamu untuk terakhir kali. Alunan lagu
yang ku nyanyikan masih belum dimulai , tapi riuh tepuk tangan menggema
ditelinggaku.
Suara hewan malambersahutan dengan dentingan piano ini.
Priaku, cintaku, dan satu satunya yang ku rindu, Alfatah Zaidan Handriansyah.
Ku berikan dirimu sebuah lagu. Meski kau takkan tau apa yang ku maksudkan.
Bertahun tahun mempertahankan satu nama dalam hati ,bukan perkara yang mudah.
Bertahun tahun mencoba menggali kenyataan sebenarnya atas dirimu padaku. Malam
ini semuanya telah terjawab, seperti sebelumnya. Aku hanya gadis kecil yang
merindukanmu, yang kau anggap hanya sekedar adik. Tak lebih.
I will leave my
heart at the door
I won’t say a word
They’ve all been
said before
So why don’t we
just play pretend
Like we’re not
scared of what’s coming next
Or scared og
having nothing left
Ku
lihat punggung dari belakang , sayang. Pantaskah hatiku memanggilmu sayang
setelah aku menjadi tunangan kakakku. Tangan mu, tangan yang aku rindu
untukmengusap rambutku, dulu. Kini tengah menyematkan sebuah cincin pada jemari
wanitamu, kakakku. Cincin yang mengikat
kalian. Semoga ini adalah yang terbaik
dari semua pilihan baik, yang dipilih olehku. Ku tinggalkan perasaan ini tepat
di pintu , pintu hatimu yang tengah tertutup tanpa celah sedikitpun untuk
membiarkan diriku masuk. Aku membiarkan semua terjadi seperti yang diminta
Tuhan. Tanpa satu kata sebgai wujud penolakan atas semua yang terjadi.
Now, don’t get me wrong
I
know there is no tomorrow
All
i ask is....
Untuk hari terakhir aku merindukanmu, setelah bertahun rindu
ini menyiksaku. Mengikis sedikit demi
sedikit rasa percayaku, bahwa dirimu akan menyisakan satu ruang hati untuk ku
isi. Sekarang , jangan salah paham. Setelah semua penantian ini, aku tak
menuntut apapun. Segenap yang ku pinta untukmu, hanya sekali , yang mungkin
menjadi yang terakhir kali. Aku melihat, pancaran kebahagiaan dari wajah kakakku ketika dirimu menyematkan
cincin itu di jarinya. Aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan orang lain,
meski pun mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
If this my last
night with you
Hold me like I’m
more than just a friend
Give me a memory i
can use
Take me by the
hand while we do what lovers do
It matters how
this ends
Cause what if
never love again
Ini akan menjadi malam terakhir ku bersamamu, salah, ini
adalah malam terakhir aku menghembuskan cintaku padamu. Karna kau takkan pernah
bisa bersamaku, selaknya kini kau bersama kakakku. Aku ingin meminta hanya satu
saja, peluklah aku dan genggam erat tanganku, melebihi dari seorang teman.
Karna persaaanku padamu juga melebihi seorang teman. Pelukan seperti beberapa
tahun silam , apakah tanganmu masih sehalus dulu, apakah deru nafasmu akan tetap
sehangat dulu. Aku ingin menginggat itu sebagi kenangan terakhir setelah jutaan
kenangan sebelumnya.
I don’t need your honesty
It’s
alreday in your eyes and i’m sure my eyes , they speak for me
No
one knows me like you do
And
since you’re the only one the matters, tell me who do I run to?
Aku sudah tak butuh kata yang terlontar dari mulutmu untuk
menenangkan hatiku, seperti dulu. Aku melihat semua kejujuran dimatamu, karna
mata takkan pernah bisa berbohong. Hanya dirimu seorang yang tahu siapa aku dan
masa laluku. Kau membuatku tenang dan nyaman sehingga aku lupa akan posisi
dalam hidupmu, pemeran sampingan atau justru figuran. Ketika tokoh utamanya
datang, maka semua akan berakhir indah tapi belum tentu untuk tokoh sampingan
itu.
.................
Let this be our
lesson in love
Let this be the
way we remember us
I don’t wanna be
cruel or vicioud
And I ain’t asking
for forgiviness
All I ask is....
Lagu ini terus mengalir bersama dentingan piano hingga larik
terakhirnya. Lagu berjudul All I Ask ,
karya Adele mengahantarkan sepasang kekasih yang berciuman di malam penuh
kerinduan. Tidak ada lagi kata kata aku
mencintaimu bahkan aku masih mencintaimu. Meski lagu ini tak senada untuk di
bawakan di acara pertunangan kalian tapi ku
harap dengan lagu ini bisa sedikit mneyentil hatimu. Biarlah kita berjalan pada
jalan yang di tunjuk oleh Tuhan.
Berbahagialah bersama kakakku. Dia wanita yang cantik dan baik, jangan
kecewakan dia. Aku percaya dia bisa membahagiakan mu. Begitu pula dirimu, kau
adalah pria terbaik yang pernah kukenal selama ini.
Aku sudah menyelesaikan lagu ini. Semua mata menatapku penuh
tanda tanya, tak ada seorangpun yang tau aku bisa memainkan alat musik bernama
piano. Keluargaku melihatku dengan terkejut, aku yakin setelah ini Mama dan
kakak lelaki ku akan menanyaiku banyak hal. Aku berjalan dengan menunduk menuju
meja dimana keluarga besarku duduk.
“hebat..” “wow..” "amazing"
Kata kata seperti itulah yang tertangkap ditelingaku.
Entahlah aku tidak terlalu peduli dengan apa yang di katakan orang, entah
pujian atau cemohan. Aku merasakan ada
sesorang mencolek pinggangku. Kutolehkan kepalaku kesampingku, untuk
melihat siapa yang mencolekku.
“aku tak tahu kau pintar bernyanyi sekaligus bermain piano?”
, sudah kuduga, Kak Dion. Kak Ardiano lebih sering di panggil kak Dion,lebih
ringkas.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan nya.
“ mari, kita berfoto terlebih dahulu”, aku menengok untuk
melihat suara siapa yang mengintrupsi kami. Itu adalah suara milik tunangan Kak
Sarah, Alfa. Kami semua mengangguk bersamaan dan berjalan ke atas panggung.
Ketika sampai dia tas panggung, Sang fotografer mulai menata
dimana nantinya kami berdiri. Dan aku diminta berdiri diantara Kak Sarah dan
Alfa. Karna aku terlihat lebih pendek dari mereka semua, aku hanya memakai high heels setinggi 3 cm. Posisi yang
sangat menyiksaku. Berdiri diantara orang yang ku cintai dengan orang yang
dicintainya, terlihat begitu menyiksaku. Perasaanku serba salah, ditambah Alfa
terlihat seperti orang yang baru mengenalku, amat menyesakkan. Setelah beberapa
sesi pemotretan aku undur diri , kami lebih tepatnya. Memberikan ruang untuk
sepasang kekasih itu melakukan sesi foto yang lebih romantis.
Sesi foto pertama mereka terlihat biasa , walau masih tetap
membuat dadaku terasa nyeri. Aku masih mampu menahan air mataku agar tidak
meluncur begitu saja. Hingga sesi foto kedua membuat sebutir air mata ku lolos
begitu saja, berciuman itulah yang tengah terjadi di tengah panggung. Sungguh
aku tak bisa mengelak rasa sakit di dadaku, riuh sorakan dari para tamu membuatku lega setidaknya
tidak ada yang menyadari kalau aku menangis,walau hanya sebutir. Tak kali ini,
air mataku mulai menumpuk lagi di ujung pelupuk mata. Tak boleh ada yang tahu,
maka dari itu akau harus pergi dari tempat ini.
Aku sudah biasanya dengan kegelapan, dan kesendirian. Meski
hari sudah begitu gelap, bermodalkan rasa sakit dan cahaya rembulan, aku
berjalan menyusuri bagian belakang panggung ini, mencari tempat untuk
menenangkan diri. Gaun putihku dengan ekor panjang ku angakat hingga
sampai lututku. Kaki kakiku menggiringku
berjalan menuju sebuah danau, danau yang ku kunjingi tadi. Aku bersimpuh diatas
rerumputan hijau, menekuku lututku dan menyembunyikan wajahku di sana. Tangisku
pecah di sini, sungguh hati aku ingin berteriak untuk sekedar melepas beban
berat di pundakku, tapi tentu saja tak ku lakukan karan akan menggangu mereka.
Aku rindu senyumanmu. Aku menyukai mu tanpa syarat. Hingga
rasa suka dan kagum akan caramu memandang dunia, berganti menjadi rasa cinta ,
rasa ingin memiliki. Andai aku sanggup, sudah cukup aku membahasmu, air mataku
beserta isakanku tak mau berhenti. Aku rindu pelukanmu, wlau sekedar pelukan
teman. Aku ingin mengulang masa masa kecilku. Rasa ini membuatku tak ingin
dewasa biarlah aku menjadi anak anak melepas tawa bersama tanpa ada rasa yang
nantinya kan menyiksa.
Sebuah tangan halus mengelus rambutku, aku terkesiap di
tempat yang sepi dan gelap tangan siapakah ini yang dengan lancangnya mengelus
rambut panjangku. Rasa penasaranku lebih
besar di banding rasa takutku, toh aku ini pernah juara tiga taekwondo Nasional.
Ku dongakkan kepala ku keatas. Yang kulihat hanya byangan gelap seorang pria
yang tegap , cahay bulan menyela tubuhnya sehingga membuatku tak dapat melihat
sosok ini. Namun sebuah suara membuatku yakin bahwa sosok di depanku ini benar
benar manusia.
”Kau memang wanita yang baik..” , suaranya membuatku dua
kali lebih yakin bahwa sosok ini bukan pria tua melainkan pria yang ku taksir
berusia sama seperti Alfa, mengingat kata Alfa hatiku berdenyut nyeri. Aku tahu
dia memberi jeda dalam ucapanya, untuk menarik nafas mungkin.
“kau tahu, wanita yang baik adalah wanita yang tidak pernah
merebut kebahagiaan wanita lain meski kebahagiaanya menjadi taruhanya, dan kau
memiliku itu”, ditengah malam dan di dekat danau ada seseorang yang memujiku,
apakah Tuhan mengirim pria ini untuk menghibur gadis malang seperti aku.
“itu?” , kata itu yang ia sampaikan kuartikan dalam banyak
hal. Bagi kalian para wanita pasti kalian akan tau beberapa banyak makna ‘itu’.
“hati yang tulus”, sosok yang berdiri
tegap kini sedikit menunduk padaku. Semakin menunduk , hingga sebuah semburat
cahaya bulan membuatku dapat melihat sedikit wajahmu, meski hanya kedua
matanya. Matanya sangat indah seperti elang, pupil matanya yang bewarna hijau,
kali ini aku yakin wajah pria ini tampan sesuai dengan mata yang ia miliki.
Mulutku hendak ku buka, untuk melontarkan sebuah kalimat
namun sesuatu menahanya. Jari telunjuk pria ini di tempelkan di bibirku yang
hendak berucap. Aku masih terpaku dengan mata itu. Entah mengapa pandangan kami
saling terkunci. Aku bungkam dan bibirku
mendadak kelu hendak mengatakan apa lagi. Masih dengan dengan jari yang
mengantung diatas bibirku, pria itu semakin menunduk dan akhirnya berjongkok
didepanku
“ percayalah , kau
adalah gadis yang baik dan kau akan mendapatkan yang terbaik, yang perlu kau
lakukan sekarang adalah membuka hatimu, dan membiarkan Tuhan mendatangkanya
dalam hidupmu untuk menggantikan sosoknya dihatimu. Tapi kau harus mencarinya,
......... dia akan mendatangimu..”, suara nya begitu tegas dan menenangkan,
kedua matanya beralih menatapku sendu bukan lagi tatapan elang yang tajam.
Ku resapi setiap kata yang diucapkanya padaku. Ku pejamkan mataku berharap Tuhan akan
memberiku sedikit clue dari semua
pertanyaan yang bergelayut di otakku. Jantungku berdegup kencang ketika sebuah
benda dingin lembab dan kenyal menyentuh keningku. Benda kenyal itu lama sekali
menempel di keningku. Seseorang telah mencium keningku!. Seratus persen aku
yakin pria di depanku lah yang menciumku, jika bukan dia siapa lagi.
Keringat dingin mulai mengucuri tubuhku. Ku rasakan semua
rangka anggota gerakku sulit ku gerakkan. Suara gigi yang saling bergemeletuk
membuatku yakin bahwa itu adalah gigiku yang sedang kedinginan. Eh kedinginan?
Ya, aku merasa ditempat yang sangat dingin. Untuk mencoba menggerakkan tubuhku
rasanya sulit sekali.
“apa kau yakin dia baik – baik saja?”, tanya seseorang entah
suara milik siapa itu. Ruangan ini begitu gelap. Aku ingin melihat siapa
pemilik suaraa itu.
Sebuah siulet cahaya datang padaku. Aku mencoba menjangkau
cahaya itu, karena aku ingin keluar dari ruangan gelap ini. Ku susuri semua
tempat gelap ini. Hingga sebuah ruang
dengan penerangan terlalu tinggi membuatku menerjapkan mata ku. Apakah aku
tertidur? Lalu pertunangan kak Sarah? Pria masa laluku? Sosok pria yang mencium
keningku?. Hah! Jika semua ini mimpi lalu mengapa terasa sangat dan terlalu
nyata.
“hai, sayang kau sudah bangun?”, pertanyaan entah milik
siapa. Membuatku menoleh, seorang wanita paruh baya duduk disisi ranjang. Ranjang
? aku tak tahu.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
Hingga aku mendengar suara ribut dari arah pintu. Membuatku
menoleh ke pintu. Dua sosok pria mendatangiku, dan tersenyum namun yang satunya
menatapku datar. Seseorang yang tersenyum wajahnya nampak tak asing dimataku,
dan dalam hitungan tiga detik aku tahu dia adalah masa laluku, pria yang
menjadi tunanganku. Mataku beralih ke sosok berwajah datar di sampingnya, aku
terkejut melihat matanya mata yang mirip tidak itu mata yang sama seperti sosok
pria yang mencium keningku. Masih dengan keterkejutanku sebuah suara menjawab
semuanya.
“kenalkan ini Alfa dan ini Zafran..” , wanita paruh baya itu
menunjuk Alfa dan si pria berwajah datar itu.
“semalam kami menemukan mu pingsan di gendongan Zafran
, tubuhmu mengginggil hebat dan juga kau demam. Akhirnya kami membawamu di
rumah kami..”,tangan wanita itu terulur untuk mengusap rambutku.
Digendong oleh seorang pria?, astaga aku benar benar tak menduga. Lalu, dimana keluargaku yang lainya, mengapa mereka tak ada disin.
“ keluargamu ,mereka
ada di bawah untuk istirahat setelah membereskan sisa acara pertunangan tadi
malam”, Wanita paruh baya itu seakan bisa membaca apa yang aku pikirkan, semacam seorang cenayang. Detik selanjutnya , wanita itu beranjak keluar dari ruangan ini.
“ Syukurlah kau baik baik saja” , Alfa menghampiriku dan
memelukku erat. Pelukan ini masih terasa sama seperti dulu. Hanya tanganya
sekarang lebih kekar dan dada yang kini lebih bidang sehingga membuatku terasa
dua kali lebih nyaman. Oh , aku harus ingat dia sudah berstatus kekasih kakaku sejak semalam.
Membayangkan ini saja
aku tak sadar bahwa kedua sudut bibirku ke tarik keatas. Hingga Alfa pergi dari
kamar karna sebuah panggilan dari kak Sarah. Kini tinggal aku dan Zafran , pria
itu mengatakan bahwa ‘dengarkan perkataanku semalam’. Dan dia ikut beranjak
pergi meninggalkan aku. Dan aku tetap sendiri merenungi semua yang terjadi. Potongan potongan
kejadian berdatangan secara acak di otakku. Aku berjalan menuju balkon kamar, disana di
bawahku keluargaku dan keluarga Alfa sedang berkumpul menikmati secangkir teh
masing masing. Aku tersenyum aku mendapat kan kesempatan berada diantara merkea
meski sebagai pemeran cadangan. Ini masih sebuah awal tidak ada akhir dalam
setiap kisah hidup seseorang sebelum kematian datang.